Reformasi
Main-main
Mohammad Isa
Gautama
Sebenarnya bosan juga saya
menulis tulsian reflektif bertemakan reformasi. Setiap tahun problem reformasi
itu ke itu saja, bahkan semakin parah. Tidak ada kemajuan. Yang ada (lebih
banyak) kemunduran. Mungkin satu-satunya kemajuan yang kita petik di era ini
adalah kebebasan berpendapat dan mengkritik. Bahwa pendapat kemudian lebih
banyak menjerumuskan dan bahwa kritik akhirnya dianggap angin lalu, itu sebuah
persoalan lain pula.
Kesan main-main begitu menonjol, setiap
kita menilik lagi proses reformasi yang sudah bergulir selama 13 tahun. Penegakan hukum, sebagai salah satu agenda
reformasi, masih jalan di tempat, lebih banyak retorika ketimbang niat tulus
dan sungguh-sungguh. Pernyataan SBY baru-baru ini bahwa pengusutan kasus
korupsi jangan tebang pilih membuat kaum kritis curiga selama ini pihak
berkompeten (KPK, BPK, dll) memang lebih sering tebang pilih membongkar kasus
korupsi.
Contohnya sangatlah banyak. Kasus korupsi
Century, mafia pajak (Gayus cs) serta Sisminbakum adalah tiga saja dari banyak
kasus yang hampir semua orang yakin ada peran tokoh-tokoh elite di dalamnya. Tapi
kenyataannya, tiga kasus ini sekarang kalah populer dibanding kisruh PSSI, dan
kongkalingkong Nazaruddin cs.
Wajar saja akhirnya publik yang
disurvey oleh Indo-barometer akhirnya “frustrasi” dan memutuskan untuk
“berpaling” pada Orde baru, sebuah orde yang justru ingin dikoreksi oleh orde
reformasi. Survey yang bermuara pada kesimpulan bahwa orde baru ternyata lebih
dianggap berhasil meningkatkan hajat hidup rakyat ketimbang orde reformasi di
berbagai aspek, tentu saja mesti disikapi secara objektif, sekaligus kritis.
Hasil survey tersebut akan jadi lain kalau saja kita (baca: para
responden survey) mau belajar secara serius pada fakta keras sejarah, betapa
“kehebatan” orde baru justru dibangun di atas todongan senjata dan tangan besi
dan otoriter-diktator seorang Soeharto. Dus, ketentraman, kejayaan, kemajuan
dan kebanggan orde baru adalah laksana simulasi-maya-semu belaka, dan orang-orang
yang merindukan orde baru sesungguhnya hanyalah boneka-boneka yang tidak mau
menggali lebih dalam realita faktual lingkungan.
Di satu sisi, tidaklah elegan untuk
buru-buru menggeneralisasikan pendapat responden sebuah survey sebagai pendapat
seluruh elemen masyarakat. Kalau mau berjujur-jujur, jika responden yang
ditanya adalah seorang pemuda berusia 18 tahun dan hidup dalam keluarga mewah,
maka ia tidak punya perbandingan yang objektif untuk menilai kelemahan dan
kelebihan orde reformasi terhadap orde sebelumnya.
Di sisi lain, hasil survey itu
setidaknya menyiratkan tingkat kepercayaan publik yang rendah terhadap
kepemimpinan pemerintah di era reformasi, terutama era SBY dan kroni-kroninya.
Setelah hampir tujuh tahun memimpin, SBY secara kasat mata terlihat lebih
mementingkan sisi-sisi kulit luar dari struktur kekuasaannya. Padahal, dalam
teori ilmu komunikasi politik, tindakan dan program konkrit punya bobot yang
lebih besar dan berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan dan kesetiaan public,
ketimbang retorika yang penuh manipulasi citra belaka.
Pertanyaannya,
apa yang salah? Aktivis politik yang pernah jadi korban kekejaman rezim orde
baru, Fadjroel Rahman, dalam sebuah talk-show
di sebuah stasiun televisi baru-baru ini menyatakan bahwa sistem orde reformasi
tidak berhasil menata ulang sistem politik dan bernegara, masih sekadar bentuk
lain dari Orde Baru. Yang lebih menyedihkan, sistem politik di era reformasi
ternyata sebagian besar diisi oleh orang-orang yang sesungguhnya tumbuh dan
dibesarkan oleh orang-orang dan sistem orde baru. Kalaupun ada politikus muda
yang dikaderkan untuk tampil menyambut “tongkat estafet”, maka mereka kebanyakan
muncul secara setengah matang dan (dilihat dari tingkah-polahnya) niat tulusnya
untuk memperbaiki keadaan amat diragukan.
Alhasil, berkemungkinan besar kita
akan terus menyaksikan sebuah drama yang menjemukan. Orde reformasi akan
dijalani oleh pemimpin yang main-main, dengan niat main-main, dan dalam sebuah
sistem yang juga main-main. Jangan salahkan rakyat akhirnya rindu kepada masa
lalu, sebuah nostalgia penuh eskapisme dan frustrasi, seolah-olah jika kita
terbang ke orde baru (lewat sebuah mesin waktu) seluruh derita dan kekeliruan yang
kita alami secara kolektif akan terlupakan, termaafkan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar