Sabtu, 15 Desember 2012


Reformasi Main-main
Mohammad Isa Gautama

            Sebenarnya bosan juga saya menulis tulsian reflektif bertemakan reformasi. Setiap tahun problem reformasi itu ke itu saja, bahkan semakin parah. Tidak ada kemajuan. Yang ada (lebih banyak) kemunduran. Mungkin satu-satunya kemajuan yang kita petik di era ini adalah kebebasan berpendapat dan mengkritik. Bahwa pendapat kemudian lebih banyak menjerumuskan dan bahwa kritik akhirnya dianggap angin lalu, itu sebuah persoalan lain pula.
            Kesan main-main begitu menonjol, setiap kita menilik lagi proses reformasi yang sudah bergulir selama 13 tahun.  Penegakan hukum, sebagai salah satu agenda reformasi, masih jalan di tempat, lebih banyak retorika ketimbang niat tulus dan sungguh-sungguh. Pernyataan SBY baru-baru ini bahwa pengusutan kasus korupsi jangan tebang pilih membuat kaum kritis curiga selama ini pihak berkompeten (KPK, BPK, dll) memang lebih sering tebang pilih membongkar kasus korupsi.
            Contohnya sangatlah banyak. Kasus korupsi Century, mafia pajak (Gayus cs) serta Sisminbakum adalah tiga saja dari banyak kasus yang hampir semua orang yakin ada peran tokoh-tokoh elite di dalamnya. Tapi kenyataannya, tiga kasus ini sekarang kalah populer dibanding kisruh PSSI, dan kongkalingkong Nazaruddin cs.
            Wajar saja akhirnya publik yang disurvey oleh Indo-barometer akhirnya “frustrasi” dan memutuskan untuk “berpaling” pada Orde baru, sebuah orde yang justru ingin dikoreksi oleh orde reformasi. Survey yang bermuara pada kesimpulan bahwa orde baru ternyata lebih dianggap berhasil meningkatkan hajat hidup rakyat ketimbang orde reformasi di berbagai aspek, tentu saja mesti disikapi secara objektif, sekaligus kritis.
Hasil survey tersebut akan  jadi lain kalau saja kita (baca: para responden survey) mau belajar secara serius pada fakta keras sejarah, betapa “kehebatan” orde baru justru dibangun di atas todongan senjata dan tangan besi dan otoriter-diktator seorang Soeharto. Dus, ketentraman, kejayaan, kemajuan dan kebanggan orde baru adalah laksana simulasi-maya-semu belaka, dan orang-orang yang merindukan orde baru sesungguhnya hanyalah boneka-boneka yang tidak mau menggali lebih dalam realita faktual lingkungan.
Di satu sisi, tidaklah elegan untuk buru-buru menggeneralisasikan pendapat responden sebuah survey sebagai pendapat seluruh elemen masyarakat. Kalau mau berjujur-jujur, jika responden yang ditanya adalah seorang pemuda berusia 18 tahun dan hidup dalam keluarga mewah, maka ia tidak punya perbandingan yang objektif untuk menilai kelemahan dan kelebihan orde reformasi terhadap orde sebelumnya.
Di sisi lain, hasil survey itu setidaknya menyiratkan tingkat kepercayaan publik yang rendah terhadap kepemimpinan pemerintah di era reformasi, terutama era SBY dan kroni-kroninya. Setelah hampir tujuh tahun memimpin, SBY secara kasat mata terlihat lebih mementingkan sisi-sisi kulit luar dari struktur kekuasaannya. Padahal, dalam teori ilmu komunikasi politik, tindakan dan program konkrit punya bobot yang lebih besar dan berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan dan kesetiaan public, ketimbang retorika yang penuh manipulasi citra belaka.
            Pertanyaannya, apa yang salah? Aktivis politik yang pernah jadi korban kekejaman rezim orde baru, Fadjroel Rahman, dalam sebuah talk-show di sebuah stasiun televisi baru-baru ini menyatakan bahwa sistem orde reformasi tidak berhasil menata ulang sistem politik dan bernegara, masih sekadar bentuk lain dari Orde Baru. Yang lebih menyedihkan, sistem politik di era reformasi ternyata sebagian besar diisi oleh orang-orang yang sesungguhnya tumbuh dan dibesarkan oleh orang-orang dan sistem orde baru. Kalaupun ada politikus muda yang dikaderkan untuk tampil menyambut “tongkat estafet”, maka mereka kebanyakan muncul secara setengah matang dan (dilihat dari tingkah-polahnya) niat tulusnya untuk memperbaiki keadaan amat diragukan.
            Alhasil, berkemungkinan besar kita akan terus menyaksikan sebuah drama yang menjemukan. Orde reformasi akan dijalani oleh pemimpin yang main-main, dengan niat main-main, dan dalam sebuah sistem yang juga main-main. Jangan salahkan rakyat akhirnya rindu kepada masa lalu, sebuah nostalgia penuh eskapisme dan frustrasi, seolah-olah jika kita terbang ke orde baru (lewat sebuah mesin waktu) seluruh derita dan kekeliruan yang kita alami secara kolektif akan terlupakan, termaafkan.***  
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar